UPDATE - SIDANG PERDATA ANTI BERSERIKAT DI PN JAKARTA BARAT

PADA SELASA TANGGAL 18 JANUARI 2011 JAM 14.30 WIB, HAKIM KETUA JANNES ARITONANG S.H. MEMBACAKAN ISI PUTUSAN GUGATAN PERDATA ANTI BERSERIKAT (UNION BUSTING), PERKARA NO. 207/PDT.G.2010/JAK.BAR. MAJELIS HAKIM BERPENDAPAT BAHWA "PENGGUGAT MAMPU MEMBUKTIKAN POKOK GUGATANNYA." TERHADAP TERGUGAT MANAJEMEN PT. INDOSIAR VISUAL MANDIRI YANG DIPIMPIM HANDOKO.


KETUA MAJELIS HAKIM JANNES ARITONANG S.H. MEMERINTAHKAN HANDOKO UNTUK MEMBUAT PERMINTAAN MAAF TERHADAP SEKAR INDOSIAR DI MEDIA NASIONAL.

DAN MEMBAYAR DWANGSOM RP. 2 JUTA PER HARI, ATAS KETERLAMBATAN PELAKSANAAN HUKUMAN INI.


MARI TEMAN-TEMAN SEKAR INDOSIAR DAN TEMAN-TEMAN MEDIA UNTUK HADIR DALAM PERSIDANGAN PERDATA INI.

Kamis, 28 Februari 2013

Resolusi Kongres FSPM Independen - tentang Maraknya Praktik Anti-Serikat di Industri Media



Resolusi Kongres FSPM Independen
tentang Maraknya Praktik Anti-Serikat di Industri Media
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam kurun waktu satu dekade ini, ada sejumlah perkembangan di Industri media di Indonesia yang cukup mengkhawatirkan. Selain adanya tren konsentrasi kepemilikan media yang berpusat pada beberapa gelintir pemilik, juga soal makin banyaknya sikap anti-serikat (union busting) yang ditunjukkan oleh manajemen media massa. Ini beberapa contoh kasusnya: pemberangusan serikat pekerja di Indonesia Finance Today (IFT), dan pemecatan terhadap Luviana oleh Metro TV setelah mempertanyakan sistem penilaian kerja dan rencananya untuk memelopori pendirian serikat pekerja.

Kasus di IFT bermula dari sikap Serikat Pekerja IFT yang mempertanyakan sejumlah kebijakan manajemen. Antara lain soal pemotongan gaji yang dilakukan sepihak sebesar 5% sampai 27,5%, meminta pembayaran kompensasi tunai atas tunggakan Jamsostek selama lebih dari setahun, dan membayarkan tunggakan tunjangan kesehatan sejak tahun 2011. Bukannya mengabulkan permintaan itu, manajemen IFT justru memecat para pengurus serikat pekerja tersebut. 

Sedangkan kasus Luvi bermula pada Februari 2012 lalu saat ia mempertanyakan soal saluran komunikasi yang tak jalan, selain sistem penilaian yang dinilai tidak jelas. Ini berimbas pada ketidakjelasan jenjang karir dan tak adanya perbaikan kesejahteraan. Bukannya mendengarkan masukan Luviana, manajemen Metro TV justru menyikapinya dengan sikap represif dengan memutasinya, sebelum akhirnya melakukan pemecatan. 

Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen, yang merupakan organisasi yang menaungi 11 serikat pekerja di Indonesia, menilai tindakan represif semacam ini merupakan bentuk pemberangusan terhadap serikat pekerja, yang itu jelas-jelas merupakan tindakan yang melawan Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Serikat Pekerja memberikan payung hukum kepada pekerja untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja. Pasal 28 dalam Undang Undang Serikat Pekerja juga melindungi anggota dan pengurus dari praktik intimidasi dan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan saat menjalankan haknya sebagai anggota atau pengurus serikat pekerja. Undang-undang Serikat Pekerja menyebut tindakan mengintimidasi dan melakukan PHK terhadap anggota dan pengurus serikat pekerja sebagai perbuatan tindak pidana kejahatan, yang bisa diancam dengan sanksi pidana maksimal 5 (lima) tahun penjara dan atau denda hingga Rp 500 juta.

Untukitu, Kongres FSPMI menyerukan:


1. Media memberikan keleluasaan kepada pekerjanya untuk mendirikan serikat pekerja. Sebab, itu merupakan bagian dari hak pekerja media yang dilindungi sangat tegas dalam Undang Undang Serikat Pekerja.


2. Media menghentikan praktik-praktik yang bersifat intimidatif terhadap pekerja yang ingin berserikat. Sikap-sikap seperti ini dikategorikan sebagai tindakan union busting, yang oleh Undang Undang Serikat Pekerja dikategorikan sebagai tindakan kriminal.

3. Pemerintah perlu secara aktif memantau kepatuhan perusahaan media terkait soal hak berserikat. Pemrintah juga harus secara tegas memproses secara hukum perusahaan media yang tak memathui Undang Undang Serikat Pekerja

Resolusi Kongres FSPM Independen - tentang Nasib Jurnalis Berstatus Koresponden



Resolusi Kongres FSPM Independen
tentang Nasib Jurnalis Berstatus Koresponden
-------------------------------------------------------------------------------------------

Hampir setiap media nasional di Indonesia memiliki jurnalis yang statusnya bukan karyawan tetap. Ada yang menggunakan istilah koresponden atau kontributor untuk menyebut jurnalis yang biasanya berada di luar kantor pusat media itu berada. Meski statusnya berbeda, tanggungjawab utama antara kontributor atau koresponden ini dengan jurnalis yang berstatus karyawan tetap relatif sama, yaitu berkewajiban melakukan monitoring dan menulis berita yang terjadi wilayah liputannya.

Meskipun memiliki "tanggungjawab utama" yang relatif tak jauh berbeda, namun kesejahteraan yang diterima antara keduanya sangat berbeda. Sejumlah fakta di lapangan menunjukkan, umumnya jurnalis yang berstatus koresponden/kontributor tak memiliki kontrak kerja yang jelas, standar pengupahannya masih dalam taraf minim, dan tak mendapatkan tunjangan basis yang memadai.

Kontrak kerja merupakan kebutuhan basis dalam hubungan ketenagakerjaan, termasuk di media. Hanya saja, tak semua media menerapkan prinsip ini saat menangani kontributor atau korespondennya. Malah ada sejumlah media yang tak memiliki kontrak kerja dengan koresponden/kontributornya sehingga hubungannya hanya sebatas perjanjian lisan.

Soal standar pengupahan yang minim ditunjukkan oleh kecilnya komponen pengupahan yang diberikan kepada jurnalis yang berstatus koresponden/kontributor.  Umumnya kontributor/koresponden media di Indonesia hanya memberikan honorarium berdasarkan berita yang dimuat media, tanpa memberikan kesejahteraan lainnya seperti berupa honor basis dan semacamnya.

Jurnalis yang berstatus koresponden/kontributor juga banyak yang tak mendapatkan tunjangan yang memadai -malah tak mendapatkan tunjangan sama sekali dari perusahaan medianya. Padahal, seharusnya koresponden/kontributor memiliki hak untuk mendapatkan aneka kesejahteraan tambahan, seperti asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, dan tunjangan pendukung lainnya.

Untuk itu, Kongres FSPMI menyerukan:
1. Media memberi hak-hak normatif koresponden/kontributor, baik itu berupa kontrak kerja, upah yang layak, dan tunjangan yang memadai.

2. Media membuat kontrak kerja yang jelas dengan koresponden/kontributornya. Salah satu hal penting yang terdapat dalam kontrak kerja meliputi hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan, serta ketentuan penting lainnya.

3. Media harus memberikan kesejahteraan yang memadai untuk koresponden/kontributor. Selain upah per berita yang layak, perusahaan media juga harus memberikan honor basis yang diterima setiap bulan secara reguler oleh jurnalis berstatus koresponden/kontributor.

4. Media memberikan aneka tunjangan (berupa asuransi) sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak normatifnya sebagai pekerja. Tunjangan itu meliputi adanya asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi hari tua, serta asuransi pendukung lainnya.


Resolusi Kongres FSPM Independen - tentang Nasib Pekerja Outsourching (Alih Daya)



Resolusi Kongres FSPM Independen 
tentang Nasib Pekerja Outsourching (Alih Daya)
---------------------------------------------------------------------------------------------

Sistem kerja outsourching (alih daya) ditolak oleh pekerja dan sejumlah organisasi buruh sejak lama. Saat unjukrasa memperingati hari buruh 1 Mei tahun lalu dan demonstrasi yang dilakukan sesudahnya, penolakan terhadap sistem kerja alih daya ini menjadi salah satu isu yang diusung bersama organisasi buruh karena dianggap sangat merugikan  kepentingan pekerja.

Ada sejumlah sebab mengapa sistem outsoucing ini ditolak. Di antaranya, sistem ini seperti menjadi pembenaran dari sikap sejumlah perusahaan yang tak ingin memberikan hak-hak pekerja secara penuh. Sebab, dalam kenyataan, mereka yang bekerja dengan model outsourching ini kerap tak mendapatkan hak-hak seperti layaknya pekerja tetap. 

Dari sejumlah fakta di lapangan diketahui bahwa ada pekerja outsourching yang tak mendapatkan tunjangan kesehatan, mendapatkan upah dibawah upah minimum, tak memperoleh pesangon saat diberhentikan, tak mendapatkan tunjangan hari raya (THR) saat hari besar keagamaan, dan aneka bentuk kesejahteraan lainnya. 

Ironisnya, praktik outsourching ini juga mulai makin marak dipraktikkan oleh perusahaan media. Termasuk di bidang yang seharusnya tak boleh dipekerjakan dengan model hubungan kerja semacam ini, yaitu mereka yang bekerja di proses produksi dan kegiatan pokok sebuah industri.

Untuk itu, Kongres FSPMI menyerukan:
1. Perusahaan media menghentikan penggunaan sistem outsourching terhadap pekerjanya.
2. Bagi perusahaan yang sedang menggunakan tenaga kerja outsourching, untuk segera mengangkatnya menjadi karyawan tetap melalui mekanisme yang diatur dalam Undang Undang Ketenagakerjaan.
3. Pekerja yang berstatus outsourching untuk bergabung, atau membentuk jika belum ada, serikat pekerja untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya.

Resolusi Kongres FSPM Independen tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)



Resolusi Kongres FSPM Independen 
tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
---------------------------------------------------------------------------------------------
 
Model hubungan kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak merupakan praktik yang jamak di berbagai perusahaan di Indonesia. Hanya saja, pelaksanaannya kerap tak sejalan dengan ketentuan undang-undang yang memberikan batasan yang cukup jelas tentang jenis pekerjaan apa saja yang bisa dipekerjakan dengan model kontrak seperti itu.

Pasal 59 Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur soal perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu: Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; pekerjaan yang bersifat musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Ketentuan tersebut cukup jelas mengatur bahwa hanya jenis pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu yang bisa digunakan dengan model hubungan PKWT. Hanya saja, dalam kenyataan, ada sejumlah perusahaan yang menggunakan model hubungan semacam ini meskipun jenis pekerjaannya jelas "tidak selesai dalam waktu tertentu". Ironisnya, praktik semacam ini juga ditemukan di sejumlah perusahaan media.

Untuk itu, Kongres FSPMI menyerukan: 

1. Perusahaan media mematuhi ketentuan Undang Undang Ketenagakerjaan terkait penggunaan hubungan kerja model PKWT. 

 2. Perusahaan media mengangkat tenaga kontrak menjadi karyawan tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3. Pekerja kontrak untuk mendirikan serikat pekerja atau bergabung dalam serikat pekerja yang sudah ada untuk memperjuangkan hak-haknya.