Senin, 25 Maret 2013 | 22:11 WIB
TEMPO.CO, Malang -
Film dokumenter berjudul di balik frekuensi menarik perhatian publik
Malang. Sekitar 600 orang menonton film yang diputar di theatre UMM
Dome, Senin 25 Maret 2013. Usai pemutaran film dilanjutkan diskusi
bersama narasumber sutradara Ucu Agustin, pengamat media dari
Universitas Muhammadiyah Malang Frida Kusumastuti dan Komisioner Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur Maulana Arif.
"Film
diputar dalam dua sesi," kata koordinator komunitas pecinta film Lensa
Mata. Pemutaran film ini hasil kerjasama Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Malang, Lensa Mata dan Universitas Muhammadiyah Malang. Para
penonton berasal dari kalangan mahasiswa, pelajar, praktisi media,
lembaga swadaya masyarakat dan akademisi.
Mereka tetap bertahan
di tempat duduk mengikuti pemutaran film yang berdurasi 144 menit hingga
akhir. Bahkan, mereka juga antusias dalam sesi diskusi umpan balik dari
para penonton. Berbagai kesan disampaikan para penonton usai mengikuti
pemutaran film, mereka mengaku mendapat inspirasi, dan wawasan mengenai
apa yang terjadi di ruang redaksi sebelum berita disiarkan.
"Setelah
menonton film ini, masyarakat menjadi bingung. Dengan banyak informasi
yang beredar, mana yang benar," tanya mahasiswa Universitas Islam Negeri
Malang, Fahrrurozi. Bahkan ia khawatir jika film ini akan dimanfaatkan
politisi untuk menyerang salah satu calon presiden. Maklum film ini
menyoroti konglomerasi media yang dimiliki Ketua Partai Nasional
Demokrat Surya Paloh dan Ketua Partai Golkar Abu Rizal Bakrie.
"Film
ini bisa menjadi alat untuk menyerang keduanya," kata Fahrurozi.
Mengenai persoalan ini, sutradara Ucu Agustin mengaku tak ada niatan
menyerang salah satu tokoh politik tersebut. Film diangkat berdasarkan
cerita yang dialami kedua tokoh yakni jurnalis Metro TV Luviana yang
dipecat karena memperjuangkan kesejahteraan dan korban lumpur Lapindo
Hari Suwandi.
"Sejarah panjang media di Indonesia, ini menjadi
film dokumenter pertama soal media," katanya. Pengamat media UMM Frida
Kusumastuti menilai film yang diangkat Ucu telah berpihak kepada
masyarakat dan jurnalis. Agar frekuensi milik negara yang digunakan
siaran televisi dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat.
"Praktik
saat ini, pemilik media bisa menyiarkan berita sesuai keinginannya.
Sama dengan jaman TVRI yang menjadi corong pemerintah jaman orde baru,"
katanya. Untuk itu, ia masyarakat harus melakukan gerakan untuk melawan
dominasi pemodal. Tujuannya, untuk membantu jurnalis menegakkan profesi
sehingga tayangan dan berita yang disiarkan adalah tayangan yang sehat.
Sementara
Koordiantor Isi Siaran KPID Jawa Timur Maulana Arif menilai film
dokumenter karya Ucu Agustin layak diputar di gedung film secara
berbayar. Lantaran, film ini gampang dicerna dan memberikan gambaran
nyata tentang korporasi media. "Ancaman dan kekerasan jurnalis juga
dialami dari dalam ruang redaksi. Pemilik modal mempengaruhi ruang
redaksi," katanya.
KPI, katanya, tak bisa melakukan pengawasan
sendirian tapi harus dilakukan gerakan bersama-sama dengan masyarakat.
Sementara KPI melakukan pengawasan terhadap isi siaran dan regulasi
secara teknis. Ancaman dan tekananan akan semakin kuat, katanya,
menjelang pemilihan umum 2014 mendatang.
"Ingat siaran digital 2018, masalah akan semakin kompleks," katanya.
EKO WIDIANTO
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/25/173469361/Ancaman-Jurnalis-dari-Dalam-Ruang-Redaksi
UPDATE - SIDANG PERDATA ANTI BERSERIKAT DI PN JAKARTA BARAT
PADA SELASA TANGGAL 18 JANUARI 2011 JAM 14.30 WIB, HAKIM KETUA JANNES ARITONANG S.H. MEMBACAKAN ISI PUTUSAN GUGATAN PERDATA ANTI BERSERIKAT (UNION BUSTING), PERKARA NO. 207/PDT.G.2010/JAK.BAR. MAJELIS HAKIM BERPENDAPAT BAHWA "PENGGUGAT MAMPU MEMBUKTIKAN POKOK GUGATANNYA." TERHADAP TERGUGAT MANAJEMEN PT. INDOSIAR VISUAL MANDIRI YANG DIPIMPIM HANDOKO.
DAN MEMBAYAR DWANGSOM RP. 2 JUTA PER HARI, ATAS KETERLAMBATAN PELAKSANAAN HUKUMAN INI.
MARI TEMAN-TEMAN SEKAR INDOSIAR DAN TEMAN-TEMAN MEDIA UNTUK HADIR DALAM PERSIDANGAN PERDATA INI.