Undang-undang penyiaran dirasakan masih sangat lemah. Karena itu media di Indonesia hanya dikuasai oleh beberapa orang atau kelompok. Akibatnya terjadi monopoli kepemilikan hingga membuat terjadinya gangguan pasar. Semua ini adalah berkah dari undang-undang penyiaran 2004, yang memberikan celah kepada para pelaku media untuk dijadikan lahan bisnis.
Hal tersebut terungkap di dalam Seminar Membedah Cross Ownership Media, kemarin di Jakarta. Hadir sebagai pembicara Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Don Bosco Selamun, Dirjen SKDI Depkominfo, Freddy H. Tulung, Direktur Kebijakan Persaingan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Taufik Ahmad, dan Koordinator Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), Kukuh Sanyoto.
Cross-ownership media, terjadi akibat subsidi silang yang dilaksanakan oleh lembaga penyiaran. Padahal Indonesia telah lama mempunyai aturan mengenai cross ownership media seperti yang termuat di dalam UU no.32/2002 tentang penyiaran antara lain di pasal 20 yang berbunyi “Lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan satu siaran dengan satu saluran siaran pada satu cakupan wilayah siaran”. UU tersebut juga telah memiliki aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.52/2005 tentang Penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan terdapat di pasal 35 mengenai pembatasan kepemilikan silang.
“Selama bertahun-tahun Indonesia dibiasakan dengan ekonomi yang sangat sentralistik, hal itu menjadi pengaruh di dalam pemusatan stasiun televisi di Indonesia,” ujar Taufik Ahmad. Monopoli juga dibagi menjadi dua yaitu monopoli kepemilikan dan monopoli pasar. Dia juga mengatakan laporan tentang cross ownership di industri penyiaran khususnya televisi saat ini masih di dalam proses penanganan pelaporan atau pemberkasan.
Salah satu contoh yang disebutkan adalah MNC group yang memiliki tiga stasiun televisi sekaligus yaitu TPI, Global TV, dan RCTI. Hal ini dirasakan sebagai pelanggaran hukum oleh Kukuh Sanyoto. Sebelumnya pada tanggal 29 Oktober 2007 MPPI mengajukan somasi terbuka agar demokratisasi penyiaran terus berlangsung secara baik dan bermanfaat bagi negara.
Di dalam somasinya MNC dinilai melanggar ketentuan pasal 18 ayat (1) dan pasal 20 UU Penyiaran Jo Pasal 32 ayat (1) huruf a PP LPS yang menyebutkan “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siatan maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi dengan sebagai berikut: a. Satu badan hukum paling banyak memiliki dua Izin Penyelenggaraan Penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di dua propinsi yang berbeda.”
Selain itu PT Surya Citra Media Tbk (SCM) juga disoroti oleh MPPI. Perusahaan yang merupakan pemilik dari Lembaga Penyiaran Swasta SCTV dan Lembaga penyiaran Swasta O Channel juga akan membeli Lembaga Penyiaran Swasta Indosiar. “Hal ini sangat menyedihkan, semua orang berlomba-lomba untuk mencari celah dalam UU tersebut agar bisa melancarkan bisnisnya,” ujar Kukuh.
Sementara itu Don Bosco mengatakan pemusatan stasiun televisi tidak dapat dihindarkan, karena merupakan lahan bisnis dan masyarakat menginginkan teknologi yang efektif. Hal yang terjadi saat ini adalah sebuah perseroan terbatas berhak menjual sahamnya kepada orang lain. “Ketika media televisi menjual kepada sebuah perusahaan, itu tidak menjadi masalah,” ujarnya. Dia juga menambahkan itulah sebabnya perusahaan seperti MNC dan SCM tidak bisa diseret ke pengadilan. “Karena MNC adalah sebuah perusahaan, jadi mereka berhak untuk memiliki saham seluruhnya dari berbagai media. UU penyiaran hanya mengatur jika sebuah lembaga penyiaran yang mempunyai lembaga penyiaran lainnya,” ujarnya.
Sementara itu Freddy H. Tulung, mengatakan bahwa semenjak adanya somasi dari KPPI, pemerintah terus membenahi UU penyiaran. “Saya akui bahwa undang-undang penyiaran sangat lemah dan tidak konsisten, maka dari itu kami akan mencarikan jalan keluar dari monopoli media ini,” ujarnya.
Taufik Ahmad berkomentar bahwa semua pihak seharusnya terlebih dahulu mengetahui monopoli macam apa yang akan dicegah. Mereka harus membedakan monopoli kepemilikan dan monopoli pasar. Jika MNC dan SCM memonopoli kepemilikan media di Indonesia, bukan berarti mereka bisa memonopoli pasar. “Mempunyai tiga stasiun televisi belum tentu bisa menguasai pasar sehebat satu stasiun televisi yang mempunyai program yang bagus,” ujarnya.
Dia menambahkan untuk masalah cross ownership yang telah diajukan, pada bulan Mei KPPU akan mengumumkan kepada publik apakah persolaan tersebut masuk ke dalam yurisdiksi KPPU atau tidak. KPPU juga telah melakukan kajian terhadap industri penyiaran secara umum dan secara khusus terhadap cross ownership di industri pertelevisian.
Selain itu Ahmad juga mengatakan permasalahan cross ownership media lebih banyak menyentuh efek kepemilikan terhadap perkembangan persaingan dalam industri penyiaran serta kepentingan umum. Maka dari itu KPPU harus membuktikan pengendalian oleh pemilik terhadap lembaga-lembaga penyiatan, dampak negatif terhadap perkembangan industri penyiaran, serta dapat merugikan kepentingan umum atau tidak. (rahma regina)
April 29, 2008 - Posted by reginaphoenix
http://reginaphoenix.wordpress.com/2008/04/29/undang-undang-penyiaran-masih-lemah/
UPDATE - SIDANG PERDATA ANTI BERSERIKAT DI PN JAKARTA BARAT
PADA SELASA TANGGAL 18 JANUARI 2011 JAM 14.30 WIB, HAKIM KETUA JANNES ARITONANG S.H. MEMBACAKAN ISI PUTUSAN GUGATAN PERDATA ANTI BERSERIKAT (UNION BUSTING), PERKARA NO. 207/PDT.G.2010/JAK.BAR. MAJELIS HAKIM BERPENDAPAT BAHWA "PENGGUGAT MAMPU MEMBUKTIKAN POKOK GUGATANNYA." TERHADAP TERGUGAT MANAJEMEN PT. INDOSIAR VISUAL MANDIRI YANG DIPIMPIM HANDOKO.
DAN MEMBAYAR DWANGSOM RP. 2 JUTA PER HARI, ATAS KETERLAMBATAN PELAKSANAAN HUKUMAN INI.
MARI TEMAN-TEMAN SEKAR INDOSIAR DAN TEMAN-TEMAN MEDIA UNTUK HADIR DALAM PERSIDANGAN PERDATA INI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar