UPDATE - SIDANG PERDATA ANTI BERSERIKAT DI PN JAKARTA BARAT

PADA SELASA TANGGAL 18 JANUARI 2011 JAM 14.30 WIB, HAKIM KETUA JANNES ARITONANG S.H. MEMBACAKAN ISI PUTUSAN GUGATAN PERDATA ANTI BERSERIKAT (UNION BUSTING), PERKARA NO. 207/PDT.G.2010/JAK.BAR. MAJELIS HAKIM BERPENDAPAT BAHWA "PENGGUGAT MAMPU MEMBUKTIKAN POKOK GUGATANNYA." TERHADAP TERGUGAT MANAJEMEN PT. INDOSIAR VISUAL MANDIRI YANG DIPIMPIM HANDOKO.


KETUA MAJELIS HAKIM JANNES ARITONANG S.H. MEMERINTAHKAN HANDOKO UNTUK MEMBUAT PERMINTAAN MAAF TERHADAP SEKAR INDOSIAR DI MEDIA NASIONAL.

DAN MEMBAYAR DWANGSOM RP. 2 JUTA PER HARI, ATAS KETERLAMBATAN PELAKSANAAN HUKUMAN INI.


MARI TEMAN-TEMAN SEKAR INDOSIAR DAN TEMAN-TEMAN MEDIA UNTUK HADIR DALAM PERSIDANGAN PERDATA INI.

Selasa, 02 November 2010

JURNALIS MENGGUGAT CATATAN HARIAN UPI ASMARADHANA


Berawal dari ditetapkan-nya Upi Asmaradana sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat karena menyampaikan pengaduan kepada Mabes Polri dan Dewan Pers. Kemudian Upi Asmaradana dijerat dengan dakwaan Pasal 310 penghinaan dan Pasal 317 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan tuduhan ‘mengadu secara memfitnah dengan tulisan’. Penetapan status tersangka Upi itu merupakan buntut dari aksi protes Upi Asmaradana, Koordinator Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers, 1 Agustus 2008, terhadap pernyataan Kepala Kepolisian Daerah Sulselbar, Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto.

Upi memprotes pernyataan Kapolda Sulselbar dalam beberapa kesempatan, bahwa publik yang dirugikan oleh pemberitaan media massa bisa langsung melaporkan wartawan ke polisi untuk dikenai pasal pidana, tanpa harus menempuh mekanisme hak jawab sebagaimana diatur dalam undang-undang pers. Disinalah awal LBH Pers mulai berkiprah melakukan advokasi untuk Upi Asmaradana, LBH Pers melihat kasus yang menimpa Upi adalah bentuk kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan peraturan perundang-undangan yang akan memberangus kebebasan pers dan kemerdekaan berekspresi bagi warga Negara khususnya bagi wartawan media seperti Upi Asmaradana.

Memang kasus yang menimpa Upi tidak terkait langsung dengan tulisan pemberitaan, Upi sebagai jurnalis dan aktivis pers Makassar berjuang bersama temantemannya untuk menolak kriminalisasi pers sebagai momok yang dapat membungkam pers yang kritis. Sikap tegas dan tidak kompromi yang ditunjukan Upi bersama kawankawan jurnalis lainya menegaskan kepada kita semua bahwa kebebasan pers harus tetap diperjuangkan dan dipertahan.


Sangat ironis upaya perlawanan Upi untuk melawan kesewenangan yang harusnya mendapat penghargaan dari perusahaan dimana dia bekerja karena mempunyai tekad dan prinsip dalam memperjuangkan kebebasan pers, tapi diancam dipecat dari Metro TV sebelum akhirnya mundur dari Metro TV karena merasa terancam, sebuah perjuangan yang harus dibayar mahal.

Banyak hal menarik yang tergambar dalam CATATAN HARIAN KOORDINATOR KOALISI JURNALIS TOLAK KRIMINALISASI PERS MAKASSAR termasuk pergolakan selama proses penanganan kasus tersebut baik di kepolisian maupun dalam persidangan di pengadilan.

LBH Pers telah mampu mewarnai dalam proses pembelaan hak-hak Upi Asmaradana dalam memperjuangkan kebebasan pers, sampai akhirnya pengadilan negeri Makassar memutus bebas memutuskan bebas dan saat buku ini diluncurkan kasus Upi Asmaradana masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung RI.

Catatan yang menarik disini adalah bagaimana LBH Pers telah mampu membawa arah perubahan baru bagi perkembangan hukum positif di Indonesia dengan memperkenalkan istilah amicus curiae dalam sidang Upi Asmaradana. “Amicus Curiae”, merupakan istilah Latin yang mungkin jarang terdengar di pengadilan Indonesia. Amicus curiae merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktekkan dalam tradisi common law, yang mengizinkan pengadilan untuk mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar.


Jadi, amicus curiae disampaikan oleh seseorang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksi, tetapi bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu sengketa; seorang penasihat kepada pengadilan pada beberapa masalah hukum yang bukan merupakan pihak untuk kasus yang biasanya seseorang yang ingin mempengaruhi hasil perkara yang melibatkan masyarakat luas.

Walaupun amicus curiae belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia, namun dengan berpegangan pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, sebagai dasar hukum pengajuan amicus curiae, dasar hukum inilah yang digunakan dalam amicus curiae terhadap kasus Majalah Time vs Soeharto.

Sementara Amicus Curiae dalam kasus “Upi Asmaradana” menggunakan pasal 89 ayat 3 butir H UU No 39 tahun 1999 tentang HAM. Hal ini karena yang mengajukan Amicus Curiae adalah Yoseph Adi Prasetyo, Anggota Komnas HAM dimana salah satu kewenangannya adalah memberikan pendapat amicus curiae sebagaimana yang termaktub dalam pasal 89 ayat (3) butir h yaitu “pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak”.

Maka tidak berlebihan apabila mekanisme ini digunakan LBH Pers sebagai salah satu strategi yang dapat mengklarifikasi prinsip-prinsip hukum, HAM dan konstitusi, terutama kasus-kasus yang melibatkan berbagai UU atau pasal yang kontroversial. Inilah point penting dari hadirnya LBH Pers dalam proses pendampingan kasus yang menimpa Upi Asmaradana. Kehadiran LBH Pers ditengah tekanan pihak kepolisian terkait kasus yang menimpa Upi Asmaradana telah mampu menghantarkan kemenangan bagi kebebasan pers di bumi ayam kinantan. Mulai dari dicabutnya gugatan perdata Sisno Adiwinoto sampai dibebaskannya Upi Asmaradana dari jerat pidana di Pengadilan.


Kasus Upi Asmaradana bukanlah kasus pribadi semata, kasus ini mencermin perjuangan jurnalis Indonesia dalam memperjuangan kebebasan pers, menyatakan pendapat dari tekanan dan intimidasi untuk tidak mudah dikekang, dibungkam oleh kekuasaan yang anti kritik untuk mengebiri kemerdekaan pers.

Semangat solidaritas yang tinggi diantara jurnalis Makassar mulai dari tingkat reporter sampai pada pimpinan redaksi media, mahasiswa, seniman dan ulama menjadi modal utama dalam mengadvokasi kasus Upi Asmaradhana, kasus ini mempersatukan semangat untuk melawan dan menentang arogansi yang dilakukan seseorang dengan memakai institusi untuk menekan dan membungkam hak masyarakat untuk menyampaikan ekspresi dalam mengkritik, mengkoreksi kebijakan yang keliru.

Dengan hadirnya buku ini yang berisikan “catatan harian Jurnalis Menggugat” bisa bermanfaat bagi pembaca kami berharap memberikan pelajaran bagi kita semua untuk tidak takut dalam menyampaikan pendapat, kritik yang berkaitan dengan kepentingan public dalam menjaga, merawat dan mempertahankan kebebasan berekspresi, kebebasan pers sebagai prasyarat bagi terwujudnya demokrasi yang hakiki.


Jakarta, 25 Oktober 2010



Hendrayana
Direktur Eksekutif LBHPers

1 komentar:

  1. Jayalah S E K A R !!!

    Jayalah LBH Pers !!!

    Tumbangkan kesewenang-wenangan !!!

    BalasHapus