UPDATE - SIDANG PERDATA ANTI BERSERIKAT DI PN JAKARTA BARAT

PADA SELASA TANGGAL 18 JANUARI 2011 JAM 14.30 WIB, HAKIM KETUA JANNES ARITONANG S.H. MEMBACAKAN ISI PUTUSAN GUGATAN PERDATA ANTI BERSERIKAT (UNION BUSTING), PERKARA NO. 207/PDT.G.2010/JAK.BAR. MAJELIS HAKIM BERPENDAPAT BAHWA "PENGGUGAT MAMPU MEMBUKTIKAN POKOK GUGATANNYA." TERHADAP TERGUGAT MANAJEMEN PT. INDOSIAR VISUAL MANDIRI YANG DIPIMPIM HANDOKO.


KETUA MAJELIS HAKIM JANNES ARITONANG S.H. MEMERINTAHKAN HANDOKO UNTUK MEMBUAT PERMINTAAN MAAF TERHADAP SEKAR INDOSIAR DI MEDIA NASIONAL.

DAN MEMBAYAR DWANGSOM RP. 2 JUTA PER HARI, ATAS KETERLAMBATAN PELAKSANAAN HUKUMAN INI.


MARI TEMAN-TEMAN SEKAR INDOSIAR DAN TEMAN-TEMAN MEDIA UNTUK HADIR DALAM PERSIDANGAN PERDATA INI.

Kamis, 14 Oktober 2010

Buruk Rupa Law Enforcement atau Penegakkan Hukum Indonesia


Ada 3 aspek yang menentukan berjalannya Penegakan Hukum (Law Enforcement); Pertama, Undang-Undang; kedua, Aktor yang menjalankan Hukum; dan ketiga, kesadaran hukum (Law Awareness) oleh masyarakat. Dimana ketiga aspek ini harus bisa berjalan dengan baik. Adanya carut marut dalam penegakkan hukum di Bumi Pertiwi tercinta ini, karena tidak jalannya ketiga aspek diatas. Mari kita bahas lebih lanjut:

1. Undang-Undang. Law Enforecement tanpa didukung oleh Perundangan-undangan yang jelas dan lengkap, pasti akan sulit untuk dilaksanakan. Memang harus diakui bahwa akhir-akhir ini Indonesia sudah ada kemajuan dalam kualitas dan kuantitas Perundang-undangannya. Tapi masih banyak juga Perundang-undangan yang tidak atau masih kurang dalam Petunjuk Teknis (Juknis) dan Petunjuk Prosedur (Jukdur), sehingga Hukum itu sendiri dapat ditegakkan. Sebagai contoh dalam Undang-undang Ketenagakerjaa Nomor 13 tahun 2003. Seperti pasal 155 ayat 3, dimana perusahaan bisa mem-PHK karyawannya dengan alasan EFISIENSI. Tapi pasal ini belum didukung Jukdur dan Juknis yang spesifik. Sehingga perusahaan dengan seenaknya dapat melakukan PHK dengan alasan ini secara subjektif.


2. Aktor. Harus diakui dari tiga aspek Law Enforcement, aspek Aktor ini adalah yang paling lemah dan amburadul di Indonesia tercinta ini. Seperti Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara sangat bermasalah. Sebagai contoh bagaimana penegakkan hukum atas perkara Perselisihan Hubungan Industrial antara pengusaha dan pekerjanya. Mediator dan Majelis Hakim di Persidangan PHI jamak melakukan putusan ambigu, ganda dan cenderung bias. Antara satu kasus dengan kasus lain punya standar acuan yang tikak jelas. Pesanan hukum begitu kentara terlihat. Jika yang berselisih adalah perusahaan kecil sperti pabrik kerupuk, roti dan sandal maka putusan hakim terlihat begitu baik dan tepat. Beda sekali bila yang beperkara adalah perusahaan besar dan di advokasi oleh pengacara terkenal pula, maka akan sangat jelas dapat disaksikan bahwa putusan dan tafsir hukum menjadi ngawur. Sedang contoh lain bila pengurus serikat pekerja yang mengadukan perkara pidana ke Polisi, maka Polisi akan lama dan bertele-tele dalam memeriksa kasus tersebut. Coba kalau sebaliknya, maka pengurus serikat pekerja akan dalam waktu singkat di berkas dan dimasukkan ke bui. Jadi aktor adalah titik terlemah dalam Penegakkan Hukum di Indonesia. Dan Markus (Makelar Kasus) dan Uang telah merusak tatanan penegakkan hukum itu sendiri.


3. Kesadaran Hukum. Lemahnya pengetahuan atau pemahaman atau kesadaran masyarakat akan hukum, juga semakin memperparah Law Enforcement. Ada beberapa dampak dari akibat lemahnya kesadaran hukum ini. Setiap kali ada pelanggaran hukum yang terjadi, masyarakat cenderung tidak tahu langkah hukum yang harus dilakukan atau masyarakat tidak mau tahu atas dampak pelanggaran hukum itu sendiri. Saat ini nyaris semua masyarakat akan menghindari proses hukum, bilamana bisa dilakukan. Semua ini akibat lemahnya kesadaran atau pengetahuan masyarakat hukum. Hal ini sangat nyata terlihat dalam dunia kerja. Banyak pekerja tidak mengerti hak-hak normatif dan bentuk-bentuk hukum yang melindungi mereka. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, UU Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, UU Nomor 21 tentang Serikat Pekerja, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dan lain-lain. Lemahnya kesadaran hukum masyarakat Indonesia ini, semakin memperparah berjalannya Law Enforcement itu sendiri. Seharusnya masyarakat berani mengatakan yang benar itu adalah benar. Bila ada permasalahan atau perselisihan hukum, seyogiyanya juga masyarakat itu berani untuk menempuh jalur hukum yang ada. Bila merasa tidak punya dana untuk perkara hukum yang ada. Banyak Lembaga Bantuan Hukum yang non profit atau murah tapi kualitasnya tidak murahan, bisa membantu masyarakat. Yang penting adalah masyarakat itu harus berani untuk melawan. Karena dengan demikianlah Negara ini bisa Jaya dan Maju. SEMUA MEMPUNYAI HAK DAN KEWAJIBAN YANG SAMA DI MUKA HUKUM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar